Pola Kepribadian yang Sering Diabaikan tetapi Menghambat Karir

Banyak orang mengira hambatan dalam karier hanya datang dari kurangnya keterampilan teknis atau persaingan ketat di dunia kerja. Padahal, hambatan terbesar justru bisa datang dari dalam diri sendiri, yakni pola kepribadian yang tanpa sadar terbentuk dan menjadi kebiasaan. Beberapa sifat yang tampak “wajar” seperti mudah tersinggung, terlalu pesimis, atau enggan berubah ternyata bisa memperlambat perkembangan karier dalam jangka panjang.

Dilansir dari seek.com.au (2025), ada lima pola kepribadian yang paling sering menghambat pertumbuhan profesional seseorang. Menyadari pola tersebut merupakan langkah pertama yang sangat krusial agar kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh, fleksibel, dan terbuka terhadap peluang baru.

1. Memiliki Pola Pikir Negatif atau Pesimis

Pola pikir pesimis adalah kecenderungan untuk selalu melihat sisi negatif dari sebuah situasi atau mengantisipasi hal buruk terjadi sebelum sesuatu benar-benar terjadi. Dalam konteks kerja, sikap ini bisa membuat kita melihat perubahan sebagai ancaman, sulit menemukan solusi karena sudah lebih dulu menganggap semuanya akan gagal, atau kehilangan motivasi karena merasa tidak ada harapan.

Jika Anda merasa sering memikirkan hal-hal negatif di tempat kerja, cobalah untuk berhenti sejenak dan mengamati cara berpikir Anda. Apakah Anda bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda? Bisakah Anda mengubah tantangan tersebut menjadi peluang untuk belajar atau tumbuh?

Penting untuk diingat bahwa menghindari pola pikir pesimis bukan berarti Anda harus selalu berpura-pura bahagia atau menyangkal kenyataan yang berat. Justru, ini soal memberi ruang untuk melihat bahwa selalu ada kemungkinan baik, bahkan dalam situasi yang tampaknya kurang ideal.

Belajar mengenali pola pikir yang tidak produktif dan mempertanyakannya secara rasional dapat membantu Anda membangun pola pikir yang lebih seimbang, yang tak hanya realistis, tetapi juga membuka peluang untuk berkembang.

2. Terlalu Mengikuti Emosi Saat Bertindak

Emosi adalah bagian alami dari diri manusia, dan menunjukkan perasaan secara terbuka bisa membantu komunikasi jadi lebih jujur. Namun, jika emosi seperti marah, kesal, atau frustrasi justru membuat Anda melampiaskannya secara berlebihan—misalnya membentak rekan kerja, mengirim email dengan nada tajam, atau bersikap pasif-agresif—hal tersebut bisa berdampak buruk pada hubungan kerja dan citra profesional Anda.

Mengelola emosi bukan berarti menekan perasaan, tapi belajar menyalurkannya dengan cara yang sehat dan konstruktif. Anda bisa mulai dengan teknik sederhana seperti menarik napas dalam, menghitung sampai sepuluh sebelum merespons, atau memberi jeda sebelum menanggapi pesan yang memicu emosi negatif.

Jika memungkinkan, beri diri Anda waktu untuk menjauh sejenak dari situasi yang memanas. Anda bisa berkata, “Saya butuh waktu sebentar untuk menenangkan diri. Boleh kita lanjutkan diskusinya nanti?” Kalimat seperti ini tetap menjaga komunikasi terbuka tanpa harus mengorbankan profesionalisme.

Kemampuan untuk mengelola emosi dengan tenang tidak hanya membuat Anda terlihat dewasa secara emosional, tapi juga membantu menjaga suasana kerja tetap sehat dan produktif.

3. Enggan Menyesuaikan Diri dengan Orang Lain

Lingkungan kerja sering kali mempertemukan kita dengan rekan-rekan dari latar belakang, pola pikir, atau gaya kerja yang sangat berbeda. Situasi ini bisa membuat frustrasi, terutama jika pendekatan atau nilai-nilai mereka tidak sejalan dengan kita.

Namun, penting untuk diingat bahwa bekerja secara profesional tidak selalu berarti harus menjadi sahabat semua orang. Yang dibutuhkan adalah rasa saling menghargai dan kemampuan menjaga hubungan kerja yang harmonis. Konflik, ketegangan, atau sikap tidak kooperatif bisa membuat suasana kerja jadi tidak nyaman dan mengganggu produktivitas, bahkan bisa merusak reputasi profesional Anda di mata atasan atau tim.

Perbedaan karakter adalah hal yang wajar. Kuncinya adalah bagaimana Anda tetap bisa bekerja sama secara efektif, meskipun secara pribadi mungkin tidak cocok. Fokuslah pada tujuan bersama, cari tahu batas kenyamanan Anda, dan lihat apakah perbedaan tersebut justru bisa menjadi pelajaran atau perspektif baru yang berguna dalam pekerjaan.

Kemampuan beradaptasi dan tetap profesional di tengah perbedaan adalah salah satu soft skill yang semakin dihargai di dunia kerja saat ini.

4. Terlalu Sering Minta Maaf

Apakah Anda termasuk orang yang mudah mengatakan "maaf" meskipun tidak melakukan kesalahan? Misalnya, meminta maaf saat ingin bertanya, mengganggu sebentar, atau bahkan saat Anda sebenarnya hanya menjalankan tugas. Kebiasaan ini, meski terkesan sopan, bisa menurunkan kepercayaan diri Anda sendiri dan memberi kesan kepada orang lain bahwa Anda kurang yakin atau bahkan tidak tulus.

Terlalu sering meminta maaf biasanya merupakan respons spontan yang muncul dari kecemasan: takut mengecewakan orang lain, khawatir ditolak, atau ingin terus diterima dalam lingkungan kerja. Padahal, dalam banyak situasi, permintaan maaf tidak diperlukan, yang dibutuhkan adalah penyampaian yang sopan, jelas, dan langsung pada tujuan.

Cobalah mengganti kalimat seperti, “Maaf mengganggu, saya mau bertanya…” menjadi, “Bolehkah saya bertanya sebentar?” atau “Saya ingin konfirmasi hal ini terlebih dahulu.” Dengan begitu, Anda tetap menunjukkan rasa hormat tanpa merendahkan diri secara tidak perlu. Ini akan membantu membangun citra diri yang lebih percaya diri, tegas, dan profesional di mata rekan kerja maupun atasan.

5. Menolak Perubahan

Perubahan memang tidak selalu mudah, apalagi jika datang secara tiba-tiba. Namun di dunia kerja yang terus bergerak cepat, baik karena perkembangan teknologi, kebijakan perusahaan, maupun dinamika pasar, perubahan sudah menjadi bagian yang tak terelakkan. Jika Anda sering merasa enggan mencoba cara baru atau berpikir, “Selama ini juga begini dan baik-baik saja,” mungkin saatnya mengevaluasi ulang pola pikir tersebut. Penolakan terhadap perubahan bisa membuat Anda tertinggal dan sulit beradaptasi, terutama saat tim atau perusahaan membutuhkan solusi yang lebih segar dan efisien.

Alih-alih melihat perubahan sebagai ancaman, cobalah melihatnya sebagai kesempatan untuk berkembang. Apa yang bisa Anda pelajari? Keahlian apa yang bisa Anda tawarkan agar proses transisi berjalan lebih baik? Ini juga bisa menjadi bahan diskusi positif dengan rekan kerja atau atasan, sekaligus menunjukkan bahwa Anda terbuka terhadap pertumbuhan.

Orang yang tangguh biasanya memiliki growth mindset, pola pikir yang fokus pada pembelajaran dari tantangan, bukan sekadar bertahan di zona nyaman. Dengan mengembangkan pola pikir ini, Anda akan lebih siap menghadapi dinamika pekerjaan dan membangun ketahanan karier jangka panjang.

Saatnya Mengubah Pola Pikir demi Masa Depan Karier yang Lebih Baik

Pada akhirnya, mengenali pola pikir negatif yang mungkin selama ini Anda pegang tanpa sadar adalah langkah awal untuk membuka diri pada perubahan. Memang, mengubah cara berpikir bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan waktu, kesabaran, dan keberanian untuk menghadapi diri sendiri. Namun, Anda tidak harus melakukannya sendirian. Jangan ragu untuk berbicara dengan orang terdekat, rekan kerja yang dipercaya, atau tenaga profesional jika diperlukan. Dukungan dan perspektif baru sering kali dapat membantu Anda melihat situasi dengan lebih jernih dan membangun pola pikir yang lebih sehat dan produktif. Ingat, karier yang berkembang dimulai dari diri sendiri, termasuk cara kita berpikir dan merespons tantangan.

 

Informasi lebih lanjut:

Aqilla Sekar Ningrum Prastyo

Corporate Communication

PT Mitra Utama Madani

corcom@mum.co.id

www.mum.co.id