Gelar Sarjana vs Realita Kerja: Apakah Masih Relevan?

Bagi sebagian besar generasi sebelumnya, gelar sarjana dipandang sebagai tiket emas menuju kestabilan finansial dan prestise sosial. Namun, seiring berkembangnya kebutuhan industri dan perubahan dinamika pasar tenaga kerja, anggapan tersebut mulai dipertanyakan. Laporan Indeed (2025) menyebutkan bahwa terdapat generational divide dalam menilai nilai sebuah gelar. Generasi Baby Boomer cenderung menilai gelar sebagai keharusan, sementara Generasi Z dan Milenial lebih mengedepankan skill dan pengalaman kerja yang relevan.

Sementara itu, di Indonesia, diskusi serupa juga mengemuka. Dalam salah satu opini yang dimuat di Kompasiana (2025), disebutkan bahwa gelar sarjana kini belum tentu menjadi jaminan diterimanya seseorang di dunia kerja. Banyak perusahaan justru lebih mempertimbangkan soft skill, kemampuan adaptasi, dan pengalaman praktis yang dapat langsung diterapkan dalam pekerjaan.

Penyebab Kenapa Gelar Sarjana Tak Lagi Jadi Jaminan

Meskipun gelar sarjana masih menjadi simbol pencapaian akademik, dinamika industri kerja yang terus berkembang menunjukkan bahwa ijazah semata tidak cukup untuk menjamin kesuksesan karier. Sejumlah faktor mendasar turut berperan dalam menurunnya daya tawar gelar, mulai dari ketidaksesuaian kurikulum dengan kebutuhan pasar hingga bergesernya fokus perusahaan terhadap keterampilan praktis.

1. Ketimpangan Antara Kurikulum dan Kebutuhan Industri

Salah satu penyebab utama menurunnya relevansi gelar sarjana adalah kesenjangan antara kurikulum akademik dan kebutuhan nyata di lapangan. Banyak lulusan yang merasa tidak dibekali keterampilan praktis selama kuliah, sehingga mereka perlu mengikuti pelatihan tambahan atau bootcamp setelah lulus. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem pendidikan tinggi dalam mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai.

Meskipun keterampilan seperti berpikir kritis, komunikasi efektif, dan manajemen waktu dapat diasah selama masa kuliah, terutama melalui kegiatan organisasi atau pengalaman non-akademik, tidak semua lulusan mendapat kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan tersebut secara maksimal. Akibatnya, sebagian dari mereka tetap mengalami culture shock saat memasuki dunia kerja yang ritmenya berbeda dan lebih menuntut kedisiplinan serta hasil nyata.

2. Realita Baru: Pengakuan terhadap Skill-based Hiring

Di tengah perubahan ini, banyak perusahaan kini mengadopsi pendekatan skill-based hiring, yaitu sistem rekrutmen yang menitikberatkan pada kemampuan, bukan sekadar latar belakang akademis (talentics.id, 2023). Kandidat dinilai berdasarkan portofolio, hasil kerja nyata, atau pengalaman di proyek-proyek sebelumnya. Fenomena ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan teknologi global maupun lokal yang membuka jalur karier tanpa mensyaratkan gelar sarjana, asalkan kandidat memiliki hard skill dan soft skill yang dibutuhkan.

Hal ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma. Pendidikan formal tetap dihargai, namun bukan lagi satu-satunya rujukan dalam seleksi tenaga kerja. Banyak posisi kini bisa diisi oleh individu yang belajar secara mandiri melalui kursus daring, online certification, atau pengalaman kerja langsung.

Mengubah Cara Pandang terhadap Pendidikan dan Karier sebagai Solusi

Untuk menghadapi perubahan lanskap dunia kerja, dibutuhkan penyesuaian cara pandang terhadap arti penting pendidikan dan strategi membangun karier. Alih-alih mengandalkan gelar sebagai satu-satunya modal, individu perlu menyeimbangkannya dengan skill yang relevan, pembelajaran berkelanjutan, dan kesiapan beradaptasi agar tetap kompetitif di tengah tantangan profesional yang kompleks.

1. Bukan Soal Gelar atau Tidak, tetapi Bagaimana Kita Berkembang

Meski demikian, menyimpulkan bahwa gelar sarjana tidak penting tentu terlalu simplistis. Pendidikan formal tetap memiliki nilai, terutama dalam membangun thinking framework, pemahaman teoretis, dan jaringan profesional. Namun, di era kerja modern, gelar hanyalah salah satu bagian dari toolkit yang harus dilengkapi dengan upskilling dan reskilling secara berkelanjutan.

2. Menyeimbangkan Teori dan Praktik

Dalam menghadapi tantangan dunia kerja saat ini, penting bagi generasi muda untuk tidak hanya bergantung pada ijazah, tetapi juga memperkuat kompetensi diri. Pengembangan intrapersonal skill seperti manajemen waktu, ketangguhan mental, dan komunikasi efektif harus berjalan seiring dengan penguasaan keterampilan teknis. Keduanya saling melengkapi dan dibutuhkan untuk menjawab ekspektasi dunia profesional yang semakin kompleks.

Bahkan beberapa institusi pendidikan tinggi kini mulai bertransformasi dengan menambahkan kurikulum berbasis praktik, kolaborasi industri, serta integrasi teknologi digital dalam proses belajar. Ini merupakan sinyal positif bahwa pendidikan formal pun menyadari perlunya perubahan agar tetap relevan.

Gelar Sarjana Masih Bernilai, Tapi Itu Saja Tidak Cukup

Menjawab pertanyaan “apakah gelar sarjana masih relevan?” jawabannya adalah iya, tetapi itu saja tidak lagi cukup. Di era yang mengedepankan kompetensi nyata, kesuksesan karier ditentukan oleh kombinasi antara pendidikan formal, keterampilan praktis, dan kemauan untuk terus belajar. Ijazah dapat membuka pintu, tetapi yang membuat seseorang bertahan dan berkembang di dalamnya adalah kemampuan untuk terus tumbuh dan beradaptasi.

 

Informasi lebih lanjut:

Aqilla Sekar Ningrum Prastyo

Corporate Communication

PT Mitra Utama Madani

corcom@mum.co.id

www.mum.co.id