Doom Spending, YOLO, dan YONO: Mengapa Gaji Cepat Habis dan Bagaimana Mengubahnya
Dalam era digital yang serba cepat, banyak profesional muda, khususnya Generasi Z dan milenial, menghadapi tantangan dalam mengelola keuangan pribadi. Fenomena doom spending dan mentalitas YOLO (You Only Live Once) sering kali menjadi penyebab utama mengapa gaji cepat habis tanpa jejak. Namun, munculnya tren YONO (You Only Need One) menawarkan pendekatan baru yang lebih bijak dalam mengelola keuangan tanpa mengorbankan kebahagiaan.
Doom Spending: Konsumsi sebagai Pelarian dari Tekanan Emosional
Doom spending merujuk pada perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan sebagai respons terhadap tekanan emosional, seperti stres, kecemasan, atau ketidakpastian masa depan.
Dikutip dari NU Online (2025), Psikolog Klinis Bianglala Andriadewi dari Welas Asih Consulting menjelaskan bahwa fenomena ini di kalangan Gen Z terjadi karena sejumlah faktor, termasuk tingkat kecemasan, perasaan tidak aman (insecure), dan pengaruh media sosial yang mendorong individu untuk mengikuti tren konsumsi yang tidak sesuai kebutuhan.
Ia menekankan pentingnya emotional awareness atau kesadaran mengelola emosi, serta literasi keuangan yang memadai untuk membantu individu mengontrol pengeluaran dan mengambil keputusan finansial yang bijak.
YOLO: Filosofi Hidup Sekali yang Menyesatkan
Gaya hidup YOLO mendorong individu untuk menikmati hidup tanpa batasan, sering kali tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Meskipun memberikan kepuasan sesaat, pendekatan ini dapat mengarah pada keputusan finansial yang buruk dan penyesalan di kemudian hari.
Menurut laporan The Guardian (2024), Gen Z telah mengadopsi istilah-istilah seperti doom spending dan loud budgeting untuk merepresentasikan pola konsumsi dan pendekatan baru terhadap keuangan pribadi. Loud budgeting sendiri adalah istilah yang dipopulerkan oleh komedian TikTok Lukas Battle pada akhir 2023. Konsep ini mendorong individu untuk secara terbuka menyatakan batasan keuangan mereka—misalnya, menolak ajakan nongkrong dengan jujur karena alasan penghematan.
Ini merupakan bentuk perlawanan terhadap tekanan sosial konsumtif, sekaligus kebalikan dari tren quiet luxury yang mengedepankan kemewahan tersembunyi. Namun demikian, tanpa pemahaman yang mendalam mengenai literasi keuangan, istilah-istilah seperti loud budgeting dan doom spending berisiko menjadi sekadar tren sesaat yang viral di media sosial tanpa membawa perubahan perilaku finansial yang berkelanjutan.
YONO: Pendekatan Bijak dalam Konsumsi
Sebagai respons terhadap dampak negatif YOLO, muncul tren YONO (You Only Need One) yang menekankan konsumsi yang sadar dan berkelanjutan. Prinsip YONO mendorong individu untuk membeli barang yang benar-benar diperlukan, berkualitas, dan tahan lama, sehingga mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan dampak lingkungan.
Peralihan dari YOLO ke YONO mencerminkan perubahan pola pikir generasi muda yang lebih peduli terhadap keberlanjutan dan dampak sosial dari keputusan konsumsi mereka.
Strategi Membangun Kebiasaan Keuangan yang Sehat
Untuk menghindari jebakan doom spending dan gaya hidup YOLO, berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:
- Meningkatkan Literasi Keuangan: Ini adalah fondasi penting dalam pengambilan keputusan finansial yang bijak. Pemahaman terhadap konsep dasar seperti menyusun anggaran, menabung, mengelola utang, dan mulai berinvestasi dapat membantu mencegah perilaku konsumtif. Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 66,46 persen, meningkat dari 65,43 persen pada tahun sebelumnya (Kompas.id, 2025). Meski begitu, peningkatan ini belum sepenuhnya diimbangi dengan pemahaman yang mendalam, terutama terhadap risiko dan manfaat dari produk keuangan. Oleh karena itu, edukasi keuangan yang menyeluruh dan berkelanjutan tetap menjadi kebutuhan mendesak.
- Mengembangkan Kesadaran Emosional: Doom spending kerap dipicu oleh emosi, bukan kebutuhan. Perasaan stres, cemas, atau takut ketinggalan momen diskon bisa mendorong pengeluaran impulsif. Psikolog Bianglala Andriadewi (2025) menjelaskan bahwa banyak orang merasa harus segera membeli saat melihat promosi, terutama saat live di marketplace. “Kalau aku nggak beli ini, aku akan rugi,” ujar mereka. Kesadaran terhadap emosi semacam ini penting agar belanja tidak menjadi pelarian, melainkan keputusan yang rasional.
- Mengadopsi Gaya Hidup Minimalis: Gaya hidup minimalis bukan berarti hidup serba kekurangan, melainkan hidup dengan kesadaran penuh terhadap apa yang benar-benar dibutuhkan. Joshua Becker, dalam bukunya The More of Less (2021), menyatakan bahwa hidup minimalis memungkinkan seseorang memiliki lebih banyak waktu, energi, dan uang untuk hal-hal yang benar-benar penting. Di tengah arus tren konsumtif media sosial, pendekatan ini relevan untuk membantu anak muda membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
- Menggunakan Teknologi dengan Bijak: Mengelola keuangan secara sadar dimulai dengan memahami ke mana uang mengalir. Seperti yang disarankan dalam artikel CNBC Indonesia (2024), langkah awal yang bisa diterapkan adalah membagi pengeluaran ke dalam empat kategori utama: pengeluaran tetap, tabungan, investasi, dan gaya hidup. Pembagian ini membantu memprioritaskan kebutuhan esensial dan menyeimbangkan pengeluaran. Untuk mempermudah proses ini, teknologi dapat menjadi alat bantu yang efektif. Aplikasi keuangan seperti Spendee, Money Lover, atau DompetKu dapat digunakan untuk mencatat dan memantau arus kas harian secara otomatis, sehingga lebih mudah mengontrol kebiasaan konsumtif dan menghindari jebakan doom spending.
- Membatasi Paparan Media Sosial: Media sosial kerap memicu doom spending akibat tekanan sosial dan budaya YOLO yang ditampilkan lewat gaya hidup mewah para influencer. Studi Setyaningtyaz et al. (2025) menunjukkan bahwa intensitas media sosial berkorelasi dengan perilaku konsumtif remaja. Hal serupa ditemukan oleh Astuti et al. (2025), yang mencatat pengaruh kuat konten visual dan influencer terhadap keputusan belanja Generasi Z.
Fenomena doom spending dan gaya hidup YOLO memang menjadi tantangan nyata bagi banyak profesional muda saat ini. Namun, dengan meningkatkan literasi keuangan, mengenali pemicu emosional, mengadopsi gaya hidup yang lebih sadar, memanfaatkan teknologi keuangan secara bijak, dan membatasi paparan media sosial, Anda dapat mulai membangun pola hidup finansial yang lebih sehat. Semoga dengan menerapkan strategi-strategi ini, Anda bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan, sehingga tercipta kondisi finansial yang lebih kuat, stabil, dan optimal—tanpa harus mengorbankan kebahagiaan hidup.
Informasi lebih lanjut:
Aqilla Sekar Ningrum Prastyo
Corporate Communication
PT Mitra Utama Madani
corcom@mum.co.id